Bab I
Pendahuluan
Faktor-Faktor
Pembatas Budidaya Ikan Kerapu di Tambak
1.
Kualitas Tanah
Tanah
tambak umumnya merupakan tanah endapan (alluvial), yang kesuburannya
sangat ditentukan oleh kualitas mineral yang diendapkan. Tanah juga merupakan
komponen utama dalam pembuatan petakan tambak, pematang, saluran air dan pintu
air serta mempunyai peranan penting dalam menentukankualitas air (Mintardjo et
al., 1985).
a.
Tekstur Tanah
Tekstur
tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam penentuan apakah tanah memenuhi
syarat untuk pertambakan. Semakin kompak tekstur tanah semakin baik tanah
tersebut untuk dijadikan tambak (Mintardjo et .al,1985). Tanah terdiri
dari mineral dan bahan organik dari berbagai ukuran. Mineraltersebut terdapat
dalam partikel tanah yang berupa tanah lait (clay), lumpur (silt)
dan pasir (land), sedangkan bahan organik terdapat sebagai bahan dalam
berbagai tahap penguraian. Tekstur tanah sangat ditentukan oleh banyaknya
komposisi pasir, lumpur dan liat. Menurut Potter (1977) dalam Mintardjo
(1985) tanah yang sangat baikuntuk tambak adalah tanah yang mempunyai tekstur
lempung berliat (clay loam), liat berpasir (sandy loam),
liat berlumpur (silty clay) dan liat (clay). Untuk budidaya
ikan kerapu di tambak tekstur tanah yang baik adalah liat berpasir sampai lempung liat berlumpur (SNI, 2003) dan
(Supratno dan Kasnadi, 2003).
b.
PH Tanah
Potter
(1977) dalam Mintardjo et al. (1985) golongkan tingkat keasaman tanah
menjadi 3 kelompok, yaitu : a ) pH tanah di bawah 4,5 (tanah bersifat sangat asam),
b) pH tanah antara 6,6 – 7,3 (tanah bersifat netral) , c) pH tanah antara 7,9 –
8,4 ( tanah bersifat agak basa) Menurut Supardi (1980) pada tambak yang
mempunyai pH tanah rendah akan menghasilkan pH air yang rendah pula, karena
terjadi efek pencucian, baik pada dasar maupun pematang tambak. Tanah yang
mengandung pirit jika diairi, maka pirit akan teroksidasi membentuk asam sulfat
yang dapat menurunkan air secara tiba-tiba. Mintardjo et al. (1985)
menjelaskan bahwa pH tanah adalah sifat keasaman dan kebasaan tanah atau biasa
juga disebut reaksi tanah. Tanah yang baik untuk dijadikan lahan tambak ikan mempunyai pH
sekitar 6,5 – 8,5. Adapun pH tanah yang normal untuk ikan budidaya kerapu di
tambak adalah 7,0 – 8,5 (Supratno dan Kasnadi, 2003), sedangkan pH yang terbaik
adalah berkisar antara 7,5 – 8,3.
c.
Bahan Organik (BO) Tanah
Kandungan
bahan organik dapat mempengaruhi kesuburan tambak, tetapi bila jumlahnya
berlebihan dapat membahayakan kehidupan dan populasi ikan yang dipelihara.
Mintardjo et .al (1985), telah memberikan angka-angka yang dapat
digunakan untuk menentukan secara kuantitatif kandungan bahan organik di dalam
tanah, yaitu kandungan bahan organik kurang dari 1,5 % tingkat kesuburannya
rendah, kandungan bahan organik 1,6-3,5 % tingkat kesuburannya
19
sedang, dan kandungan bahan organik lebih dari 3,6 % tingkat kesuburannya tinggi.
Menurut Supratno dan Kasnadi (2003), bahwa kandugan bahan organik tanah 5-10 %
masih memungkinkan untuk budidaya ikan kerapu di tambak
1.
Kualitas Air
Air
sebagai tempat atau media hidup ikan kerapu yang dipelihara harus memenuhi
persyaratan secara kualitas dan kuantitas, sehingga ikan dapat hidup dan berkembang dengan baik. Sedangkan SNI
01-6487-2002 (2002) parameter Ikan kerapu di tambak yang harus diperhatikan
adalah salinitas, suhu, pH, ketinggian air, kecerahan, oksigen terlarut, pH,
amonia, nitrit, nitrat, phosfat, bahan organik dan parameter biologis (jenis
plankton).
a.
Salinitas
Salinitas
merupakan suatu ukuran konsentrasi ion-ion yang terlarut dalam air yang
diekspresikan dalam gram per liter (g/L) atau part per thusand (ppt). Anggoro
(1993) menyatakan bahwa hubungan antara salinitas dan pertumbuhan ikan /hewan
akuatik sangat erat kaitannya dengan tekanan osmotik air. Semakin tinggi
salinitas perairan, maka semakin tinggi pula tekanan osmotiknya. Untuk
menghindari pengaruh tekanan osmotik, perubahan salinitas seyogyanya dilakukan
secara bertahap, agar hewan akuatik /ikan mampu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkunganya. Sunyoto (1994) menyatakan bahwa ikan kerapu menyenangi air laut
berkadar garam 33 – 35 ppt dan 25 – 30 ppt. Namun menurut Sunyoto (1994) maupun
Supratno dan Kasnadi (2003) dari hasil 20 penelitian membuktikan bahwa pada
salinitas 5,15, 25 dan 35 ppt masih mampu memberikan respon toleransi positif
terhadap pertumbuhan kerapu bebek.
b.
Suhu
Suhu
merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya pada hewan
akuatik. Menurut Soetomo (1990), suhu air sangat berpengaruh terhadap sifat
fisik, kimia dan biologi tambak, yang akibatnya mempengaruhi fisiologis kehidupan
hewan akuatik atau hewan air.
Secara
umum laju pertumbuhan ikan akan meningkat jika sejalan dengan kenaikan suhu
pada batas tertentu. Jika kenaikan suhu melebihi batas akan menyebabkan
aktivitas metabolisme organisme air/hewan akuatik meningkat, hal ini akan
menyebabkan berkurangnya gas-gas terlarut di dalam air yang penting untuk
kehidupan ikan atau hewan akuatik lainnya. Walaupun ikan dapat menyesuaikan
diri dengan kenaikan suhu, akan tetapi kenaikan suhu melibihi batas toleransi
ekstrim (35 °C) waktu yang lama maka akan menimbulkan stress atau kematian
ikan. Suhu untuk budidaya ikan kerapu di tambak adalah berkisar antara 28 –32
°C (Supratno dan Kasnadi, 2003).
c.
Kecerahan Air
Kecerahan
air merupakan ukuran penetrasi cahaya di dalam air. Hal tersebut disebabkan
oleh bahan-bahan halus yang melayang dalam air, baik berupa bahan organik
seperti plankton, jasad renik, detritus, maupun bahan organik lain seperti lumpur,
pasir dan partikel-partikel terlarut yang tersuspensi seperti tanah(Mintardjo et
al,1985). Kekeruhan yang disebabkan oleh partkel lumpur dan pasir dapat
menutupi insang ikan kerapu, sehingga akan menghambat pernafasan. Sedangkan
kekeruhan yang disebabkan oleh blooming plankton juga bisa menimbulkan pengaruh
langsung yang merugikan, seperti jenis plankton yang dapat mengeluarkan racun seperti
Microcytis sp. Kecerahan pada tambak kerapu yang diinginkan adalah berkisar
40-50 cm (Supratno dan Kasnadi, 2003).
d.
Derajat Keasaman (pH)
pH
air tambak sangat dipengaruhi tanahnya, sehingga tambak-tambak baru yang
tanahnya asam maka pH airnyapun rendah. Ikan cukup sensitif terhadap perubahan
pH, sehingga pada nilai tertentu (pH 4 dan 11) menurut Swigle (1942) dalam Mintardjo
et al. (1985), merupan titik mati bagi ikan. Kisaran normal untuk kehidupan
ikan kerapu berkisar antara 7,7 – 8,5. (Supratno dan Kasnadi, 2003). Nilai pH
air dapat menurun karena proses repirasi dan pembusukan zat-zat organik.
e.
Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen)
Kandungan
oksigen terlarut (DO) dalam suatu perairan merupakan parameter pengubah kualitas air yang paling
kritis dalam budidaya ikan, karena dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan
yang dipelihara. Oksigen yang terlarut di dalam perairan sangat dibutuhkan
untuk proses respirasi, baik oleh tanaman air, ikan, maupun organisme
lain yang hidup di dalam air. Sedangkan kebutuhan oksigen terlaut untuk ikan
kerapu di tambak yang baik adalah di atas 3,5 ppm (Supratno dan Kasnadi, 2003).
f.
Amonia (NH3)
Amonia
(NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu hasil dari
proses penguraian bahan organik. Amonia ini berada dalam dua bentuk yaitu
amonia tak berion (NH3) dan amonia berion (NH4). Amonia tak berion bersifat
racun sedangkan amonia berion tidak beracun. Menurut Boyd (1982), tingkat
peracunan amonia berion berbeda-beda untuk tiap spesies, tetapi pada kadar 0,6
ppm dapat membahayakan organisme tersebut. Amonia biasanya timbul akibat
kotoran organisme dan aktivitas jasad renik dalam proses dekomposisi bahan
organik yang kaya akan nitrogen. Tingginya kadar amonia biasanya diikuti naiknya
kadar nitrit. Amonia merupakan hasil katalisator protein yang diekspresikan
oleh organisme dan merupakan salah satu dari penguraian zat organik oleh
bakteri. Amonia tingkat keseimbangannya sangat dipengaruhi oleh pH air, suhu ,
salinitas dan kadar Ca. Kadar amonia akan meningkat pada pH dan suhu tinggi
serta kadar garam dan kesadahan rendah. Kadar amonia tinggi dalam air secara
langsung dapat mematikan organisme
perairan yakni melalui pengaruhnya terhadap
ermeabilitas sel, mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan konsumsi
oksigen dalam jaringan , merusak insang dan mengurangi kemampuan darah
mengangkut oksigen % ( Boyd, 1981). Amonia yang baik untuk budidaya ikan kerapu
di tambak adalah kurang dari 0,01 ppm (Supratno dan Kasnadi, 2003).
g.
Nitrit (NO2)
Boyd
(1981) menjelaskan bahwa nitrit hasil antara dari oksidasi amonia dalam proses
nitrifikasi oleh bakteri autotropik nitrosomonas, yang menggunakan amonia
sebagai sumber energi. Toksisitas nitrit terhadap ikan atau dapat dikatakan bahwa
nitrit adalah hasil reaksi oksidasi amonia oleh bakteri nitrosomonas terutama
dalam transpor oksigen dan kerusakan jaringan. Nitrit dalam darah mengoksidasi
haemoglobin menjadi methemoglobin yang tidak mampu mengikat darah (Boyd, 1981;
Maguire dan Allan, 1990). Sehingga tingginya kadar nitrit menjadi akibat
lambatnya perubahan dari nitrat ke bakteri nitrobakter (Boyd,1982).
h.
Nitrat (NO3)
Berbeda
dengan amonia maupun nitrit, nitrat jarang sekali menjadi masalah dalam
budidaya hewan akuatik baik di tawar, payau maupun laut. Efek nitrat pada hewan akuatik hampir sama dengan nitrit yaitu
pada transportasi oksigen dan proses osmoregulasi. Kadar nitrat dalam air yang
berbahaya bagi ikan maupun invertrebata berkisar antara 1.000 – 3.000 ppm. Oleh
karena itu, keracunan nitrat pada hewan akuatik sangat jarang terjadi
(Hanggono, 2004). Namun untuk di tambak ikan kerapu sebaiknya kurang dari 10
ppm (Supratno dan Kasnadi, 2003).
i.
BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD
adalah suatu analisis empiris yang secara umum merupakan prosesproses biologi
dalam air. BOD sangat erat kaitannya dengan eutrofikasi, yaitu 24 suatu proses
pengkayaan zat hara diperairan (terutama oleh fosfat dan nitrat) yang mengakibatkan
habisnya gas oksigen terlarut. Zat-zat pengikat oksigen kebanyakan adalah zat
organik. Zat kimia banyak dimanfaatkan sebagai hara atau sumber energi oleh
mikroorganisme. Dalam proses metabolisme mikroba tersebut, zat kimia organik
atau hara diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana, dan pada akhirnya
menjadi elemen organik atau hara anorganik dan gas. Reaksi biokomia ini dapat
terjadi karena adanya oksigen terlarut. Oleh karena itu zat kimia organik tadi
disebut sebagai zat –zat yang menimbulkan kebutuhan akan oksigen (BOD). Nilai
BOD adalah dalam jumlah oksigen yang diperlukan oleh bakteri /mikroorganisme
untuk menguraikan hampir semua zat organik terlarut dalam air (Boyd, 1981).
Bahwa tinggi nilainya BOD menunjukkan indikasi kurang mampunya perairan untuk
memenuhi keperluan oksigen bagi organisme perairan secara cukup. Batas
toleransi BOD (5 hari) untuk budidaya ikan kerapu di tambak adalah kurang dari
3 ppm (Supratno dan Kasnadi , 2003) .
1.
Plankton
Dalam
budidaya ikan kerapu di tambak plankton tidak berperan secara langsung. Namun
secara tidak langsung keberdaan plankton dapat membantu sebagai stabilisator
pada media tambak, yaitu kecerahan air. Kecerahan yang normal akan membantu
ikan kerapu secara tidak langsung terkena cahaya matahari, sehingga akan lebih
nyaman. Standarisasi Nasional Indonesia (2002) maupun Supratno dan Kasnadi
(2003), bahwa kepadatan plankton yang ideal di 25 tambak kerapu adalah sekitar
10.000 – 12.000 sel/ml. Jenis plankton yang diharapkan di tambak seperti jenis
fitoplankton yaitu Chlorella sp, Skeletonema sp, Dunalaella sp
dan lain-lain (50 – 70 %). Beberapa jenis diatom (20 – 30 %). Untuk jenis Cyanobacteria
(10 – 20 %). Sedangkan yang paling dihindari atau tidak diharapkan adalah
beberapa jenis Dinoflagellata.
2.
Pemanfaatan lahan Tambak Untuk Budidaya Ikan Kerapu
Pemanfaatan
lahan tambak untuk budidaya ikan kerapu agar sesuai maka perlu penentuan lokasi yang tepat guna
keberhasilan. Kesalahan dalam pemilihan atau penentuan suatu lokasi dapat
berdampak sangat fatal, sehingga banyak kerugian. Beberapa hal yang perlu di perahatikan
diantaranya :
3.
Aspek Ekologis
a.
Iklim
Menurut
Poernomo (1992), bahwa data curah hujan sangat dibutuhkan terutama untuk
menentukan jumlah curah hujan, bulan basah, maupun bulan kering di daerah tersebut
karena sangat berkaitan dengan persediaan sumber air tawar, air laut, penurunan
salinitas perairan, tingginya permukaan air, atau musim tanam. Kawasan atau
daerah yang baik untuk budidaya tambak adalah curah hujan kurang dari 2.000 mm
per tahun. Secara umum Wilayah Kabupaten Jepara beriklim tropis dengan suhu
ratarata 27,88 °C, suhu minimum adalah 21,78 °C dan suhu maksimum 32,66 °C. Sedangkan
untuk Suhu rata-ratra di Kabupaten Jepara setiap bulan berkisar antara 26 21,55–
32,71 °C. Tipe iklim di Kabupaten Jepara meliputi tipe C dan D (tipe iklim berdasarkan
Scmidt dan Ferguson). Bedasarkan sumber data dari BAPPEDA Jepara ( 2002),
banyaknya curah hujan di Kabupaten Jepara yaitu : Kecamatan Keling 3.044
mm/tahun (tinggi), Kecamatan Mlonggo 2.312 mm/tahun (sedang), Kecamatan Jepara
2.298 mm/tahun (sedang), Kecamatan Tahunan 2.349 mm/tahun (sedang) dan Kecamatan
Kedung 2.554 mm/tahun (Tinggi).
b.
Sumber Air
Air
merupakan kebutuhan mutlak bagi ikan, sebab seluruh hidupnya berada dalam air.
Namun demikian, tidak semua air dapat digunakan untuk memelihara ikan. Sumber
air yang digunakan untuk mengairi tambak ikan kerapu harus memenuhi syarat,
baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang tahun. Lahan tambak
sebaiknya dibangun di dekat muara sungai atau di dekat jaringan irigasi atau di
dekat sumber air tawar lainnya yang mampu mensuplai air sepanjang tahun,
terutama di musim kemarau. Lahan pertambakan sebaiknya juga dekat dengan sumber
air asin (laut). Sehingga tambak akan mempunyai sumber air yang dapat menjamin
pasok air payau yang diperlukan sepanjang tahun (Poernomo, 1992) Ada beberapa
parameter kualitas air perlu diperhatikan agar sesuai dengan kebutuhan budidaya
ikan kerapu di tambak, yaitu : bersih, memenuhi derajad27 kemasaman, memenuhi produktivitas
primer (kesuburan air), tingkat sedimentasi rendah, kelarutan oksigen tinggi,
suhu, salinitas, kondisi pasang surut sumber air. Kualitas air di dalam tambak
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor kimia, fisika dan biologi.
Pada prinsipnya jika suatu perairan dapat dihuni dengan baik oleh ikan kerapu,
maka dapat dikatakan bahwa kualitas air di perairan tersebut cukup memenuhi
syarat untuk mengairi tambak ikan kerapu (Supratno dan Kasnadi, 2003).
c.
Pasang Surut
Salah
satu faktor dominan yang mempengaruhi pasok air dan buang air dalam
mengoperasikan tambak adalah sifat pasang surut. Agar kelancaran pengelolaan
terjamin baik dengan biaya yang kecil, perlu diperhatikan kondisi pasang surut
yang menguntungkan. Poernomo (1992) berpendapat bahwa lokasi yang fluktuasi
pasangnya sedang (kisarannya maksimum antara 20 – 30 dm dan rataan amplitudonya
antara 11 – 21 dm) adalah layak bagi pengelolaan pertambakan di kawasan
intertidal. Lokasi yang fluktuasi
pasangnya besar (40 dm atau lebih) akan menimbulkan masalah, karena diperlukan
pematang yang besar untuk melindungi tambak dari pasang tinggi dan sebaliknya
menimbulkan kesukaran mempertahankan air di dalam tambak pada saat surut
rendah. Kawasan yang amplitudo pasangnya sangat kecil (kurang 10 dm) akan
dihadapkan pada masalah pengisian dan pembuangan air dari tambak karena tidak
dapat dilaksanakan secara sempurna.
d.
Topografi dan Elevasi
Lokasi
pertambakan sebaiknya tidak pada tempat yang tanahnya bergelombang atau curam,
sebab akan memerlukan banyak biaya untuk penggalian dan perataan tanah.
Penggalian tanah yang banyak dan terlalu dalam akan menyebabkan lapisan
permukaan yang subur terbuang. Daerah dekat sungai dan pantai pada umumnya
merupakan tempat yang baik untuk petambakan (Poernomo, 1992). Menurut Poernomo
(1992), lokasi pertambakan sebaiknya juga dipilih di tempat yang mempunyai
elevasi tertentu agar memudahkan pengelolaan air, sehingga tambak cukup
mendapatkan air pada saat terjadi pasang harian dan dapat dikeringkan pada saat
surut harian. Lahan yang hanya dapat diairi pada saat terjadi pasang tertingi
kurang baik untuk dijadikan tambak.
MAKALAH
Dasar - Dasar Ilmu Tanah
Faktor-Faktor Pembatas Budidaya Ikan Kerapu di
Tambak
DI
BUAT OLEH
Muh talibin
Nim : 2011.21 009
Program studi budidaya
perairan
Fakultas perikanan
Universitas Andi Djemma
Palopo 2012
0 komentar:
Posting Komentar